Membangun Karakter Hakim Progresif dan Bermoral

Dr.  Sukresno, SH.,M.Hum

Prinsip utama sistem hukum Eropa Kontinental yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang terbentuk Undang-Undang (UU) dan tersusun secara sistematik dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Prinsip dasar ini dianut, mengingat nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum, termasuk oleh hakim-hakim di Indonesia.

Namun, di Indonesia, hukum acapkali dimaknai dengan kalimat dalam peraturan yang hanya semacam eksemplar saja, sedang yang hendak dijangkau adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah keadilan.

Jika demikian, maka kita tidak dapat memegang peraturan tersebut secara mutlak atau hitam putih. Peraturan tersebut hanya mengingatkan saja, bahwa dalam masyarakat harus ada keadilan, dan keadilan itulah yang kemudian dirumuskan ke dalam kata-kata, bahasa atau dalam kalimat peraturan.

Keadilan baru merupakan suatu hal, karena masih ada yang lain seperti justice, utility, doelmatigheid, bilijkheid. Dengan perkataan lain, setiap  kali membaca peraturan, maka setiap kali pula kita harus mencari makna dalam yang ada di belakang peraturan tersebut.

Begawan hukum Satjipto Rahardjo, bertolak dari pandangan kemanusiaan, dan berupaya merubah hukum yang amoral menjadi  bermoral. Paradigma ”hukum untuk manusia” membuatnya merasa bebas mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi-aksi yang tepat untuk mewujudkan tujuan hukum itu sendiri, yakni keadilan, kesejahteraan dan kepedulian terhadap rakyat.

Hakim dan Keadilan

Hakim dan keadilan merupakan dua istilah yang cukup baku dalam memahami posisi Negara sebenarnya. Adanya keadilan, tentu bersumber dari hakim yang baik dan professional, sementara adanya hakim yang baik dan professional merupakan indikator akan munculnya keadilan.

Dalam sistem hukum di manapun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hokum, yang merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.

Pertanyaannya, apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?

Proses pengadilan di negara yang sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied), menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan di atas segalanya, bahkan di atas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.

Peran hakim dalam mewujudkan tatanan hukum yang bermadzhab keadilan dalam suatau Negara pun, menjadi kewajiban yang mestinya dikedepankan. Persoalnnya, itu tidaklah mudah.

Pasalnya, upaya hakim menunjukkan eksistensi keadilan mengalami proses di mana keadilan yang sebenarnya dibayang-bayangi oleh moral, baik moral internal (moral hakim) maupun moral ekternal (moral penguasa/ masyarakat) yang acapkali mempengaruhi suatu putusan.

Dalam hal moral internal, dimafhumi bahwa upaya untuk memosisikan fungsi dan peran hakim yang bermoral, sering dihadapkan pada keinginan hakim sebagai sosok manusia.

Namun mestinya, ketika seseorang sudah menentukan pilihan menjadi hakim, nilai moral harus, bahkan wajib, melekat dalam diri seorang hakim. Agar Hukum benar benar menuju keadilan yang substantif.

Kendati begitu, mesti disadari, tugas hakim memang berat, karena tidak sekadar mempertimbangkan kepentingan hukum an-sich dalam memutus perkara, melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar terwujud adanya kepastian hokum, sehingga hakim dituntut masyarakat berlaku adil.

Namun demikian, sebagai manusia, hakim, dalam memutus suatu perkara, tidak mungkin memuaskan semua pihak. Kendati begitu, hakim diharapkan menghasilkan putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta hukum di persidangan, yang didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas), serta disertai dengan hati nurani hakim.

Hukum Progresif

Penafsiran progresif dalam memahami proses hokum, yaitu sebagai proses pembebasan terhadap sesuatu konsep yang ‘’kuna’’ dan tidak dapat lagi dipakai untuk melayani kehidupan masa kini.

Hukum progresif ini sangat lekat dengan sosok pencetusnya, yaitu Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Maka, tak berlebihan jika Prof. Tjip disebut sebagai penggagas sekaligus “pejuang” dan “pengembang” hukum progresif.

Gagasan hukum progresif muncul, sebagai reaksi keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Pengamat internasional hingga masyarakat ‘awam pun mafhum, bahwa sistem hukum Indonesia adalah yang terburuk di seluruh dunia. Tesis ini muncul dipicu dari tak berdayanya hukum Indonesia dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Prinsip utama yang dijadikan landasan hukum progresif, yaitu hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Jadi manusia lah yang merupakan penentu dan dipahami, karena manusia pada dasarnya adalah baik.

Prinsip tersebut menggeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia. Konsekuensinya, hukum bukanlah merupakan sesuatu yang mutlak dan final, tetapi selalu ”dalam proses menjadi” (law as process, law in the making), yaitu menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, mampu mewujudkan kesejahteraan, dan peduli terhadap rakyat.

Secara faktual, ini memperkuat tesis yang menyatakan bahwa terdapat dua tipe hakim dalam memutuskan perkara. Pertama;  hakim yang apabila memeriksa, terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dan peraturan untuk mendukung putusan itu.

Kedua; hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu berkonsultasi dengan kepentingan perutnya, dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan perutnya.

Tipe atau kategori hakim ini, setidaknya bisa analisa secara sosilogis, bagaimana seorang hakim melakukan analisanya sebelum menentukan putusan secara lebih lanjut.

Mahfud MD. berpendapat, ada dua prasyarat utama yang harus dimiliki oleh para aktor penegak hukum dan pejabat lain untuk memperbaiki keadaan yang bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), yaitu ‘’bersih’’ dan berani”.

Bersih artinya bermoral, punya track record (rekam jejak), tak pernah korup dan tak punya masalah dengan hukum. Sedang ‘’Berani’’ berarti punya nyali untuk bertindak terhadap siapapun guna mendobrak birokrasi.

Pada akhirnya, bersih dan berani merupakan prasyarat kumulatif. Sebab jika hanya bersih, tetapi tidak berani, akan selalu gamang. Sementara jika berani tetapi tidak bersih, bisa-bisa justru menjadi pemutih untuk penghilangan jejak kasus, pencipta KKN baru, atau tiba-tiba kehilangan keberaniannya karena dihantui ketidakbersihannya. (*)
 

Dr.  Sukresno, SH.,M.Hum,
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus